Tuesday, October 27, 2009

Kisah Miris Indonesia di Kaltim

Puluhan tahun, banyak kapal-
kapal ikan asal Kalimantan
Timur (Kaltim) mendaratkan
hasil tangkapannya di
Malaysia. Negara Indonesia
sudah dirugikan miliaran
rupiah. Sementara legalisasi
pukat hela di wilayah
perbatasan Indonesia-Malaysia
masih menjadi perdebatan.
Rasa miris menghujam ketika
saya menginjakan kaki di
Sebatik.Jarum jam tepat
menunjukan pukul setengah
satu siang ketika, Saya
beserta rombongan wartawan
ibukota lainnya tiba di
Pelabuhan Tarakan,
Kalimantan Timur (Kaltim).
Siang itu, kami atas ajakan
Direktorat Jenderal
Pengawasan dan Pengendalian
Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan (Ditjen P2SDKP),
Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) akan
melakukan perjalanan laut
menuju Pulau Sebatik,
pertengahan Februari lalu.
Armada yang kami tumpangi
adalah Kapal Patroli Hiu
Macan 003 yang mempunyai
cakupan wilayah operasi di
perairan Indonesia bagian
timur. Kapal ini meninggalkan
pelabuhan dengan kecepatan
14 knot/jam. Beruntung
ombak di laut sedang tak
begitu tinggi sehingga kapal
yang kami tumpangi melaju
dengan tenang.
Perjalanan dari Tarakan
menuju Sebatik selanjutnya
kami tempuh dalam kurun
waktu lima jam. Sekitar pukul
tujuh malam, kami mendarat
di sebuah dermaga kayu yang
menjorok ke tengah laut.
Kami harus berhati-hati ketika
memanjati tangga dermaga
tersebut. Suasana begitu
gelap dan temaram. Hanya
ada penerangan dari
beberapa buah lampu bohlam
dan pijar yang tak begitu
terang.Namun ketika
pandangan kami arahkan ke
timur, benderang cahaya
begitu jelas kami lihat jauh di
seberang pulau. Kami
bayangkan betapa ramai dan
meriahnya kehidupan di sana.
Itulah daratan Tawao,
Malaysia.
Sebatik adalah sebuah pulau
kecil terluar yang berbatasan
langsung dengan Malaysia. Di
darat, pulau ini terbagi dua
menjadi Sebatik Indonesia dan
Sebatik Malaysia. Sementara
di laut, pulau ini berhadap-
hadapan dengan daratan
Tawao. Lebih jauh ke arah
timur terletak Pulau Sipadan
dan Ligitan yang dulu pernah
menjadi sengketa antara
Indonesia-Malaysia. Miris
karena Mahkamah
Internasional akhirnya
memutuskan dua pulau ini
sebagai bagian kedaulatan
negeri jiran tersebut.
“Mereka makmur karena
nelayan Indonesia,” ujar
H.Yusuf, Ketua Himpunan
Nelayan Seluruh Indonesia
(HNSI), Cabang Kabupaten
Nunukan, Kaltim yang
menyambut kedatangan kami.
Cerita yang mengalir
selanjutnya adalah tentang
keprihatinan dan
permasalahan yang selama ini
menggelayuti kehidupan
nelayan di Sebatik dan
wilayah-wilayah di Kaltim
lainnya.
“Bayangkan selama puluhan
tahun, banyak nelayan kami
yang mendaratkan dan
menjual ikan tangkapannya ke
Malaysia dengan harga
murah,” kata Yusuf.
Pemerintah Malaysia, lanjut
Yusuf, tentunya dengan
senang hati menerima
kedatangan mereka.
“Jika anda nelayan yang
datang dengan membawa ikan
maka tak perlu paspor untuk
masuk Tawao,” katanya lagi.
Alhasil selama puluhan tahun
pula Indonesia tak menikmati
keuntungan berarti dari
pengeksplotasian sumber daya
ikan di perairan tersebut.
Wajar jika pada akhirnya,
walaupun hanya negara
dengan luas wilayah yang
kecil,
Malaysia begitu makmur.
Pembangunan ekonomi terus
menerus dilaksanakan sebagai
unjuk kemakmurannya.
Sebatik Indonesia pun semakin
tenggelam dalam
kemiskinannya. Hal ini
tentunya tak akan pernah
terjadi jika saja Pemerintah
Indonesia sudah jauh-jauh hari
memperhatikan kehidupan
masyarakat di pulau
perbatasan tersebut. “Kami
tak memiliki cold storage,
industri pengolahan, maupun
pelabuhan yang memadai
untuk menerima ikan-ikan
tangkapan nelayan,” kata
Suryanto, Kepala Dinas
Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Nunukan.
Karena itu, menurutnya, tak
bisa disalahkan jika pada
akhirnya banyak nelayan di
Kaltim yang memasok hasil
tangkapannya ke Malaysia.
Ironis memang, entah sampai
kapan perairan kita menjadi
surga bagi pencuri.

No comments:

Post a Comment